Penulis: ABDULLAH FIKRI, S.H.I., M.S.I.
DOSEN PENYANDANG DISABILITAS SENSORI PENGLIHATAN
FAKULTAS HUKUM UPN “VETERAN” JAWA TIMUR
(Tulisan ini diunggah pada 28 Oktober 2024: ed)
Sumber Gambar: US CDC
HAK ASASI MANUSIA DAN DISABILITAS
“Convention on The Rights of Persons With Disability” (CRPD) tahun 2006 menjadi tonggak perubahan paradigma terhadap penyandang disabilitas secara instrumen hukum internasional. Perubahan yang mendasar terhadap paradigma tersebut adalah memposisikan penyandang disabilitas sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dengan kata lain bahwa paradigma yang dibangun adalah paradigma yang menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas.
Sebagai komitmen Negara Indonesia, maka pada tahun 2011 Pemerintah Indonesia meratifikasi CRPD melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, kemudian pada tahun 2016 terbit Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang merupakan hasil gerakan sosial penyandang disabilitas dan organisasi penyandang disabilitas untuk mengubah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan adanya perubahan Undang-Undang mengenai penyandang disabilitas menjadikan dasar payung hukum bagi penyandang disabilitas agar terpenuhinya hak-haknya. Bersamaan dengan terpenuhinya hak,pemerintah dan pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Paradigma hak asasi manusia yang dikonstruksikan melalui UU Penyandang Disabilitas mendasarkan pada sebelas asas yang tercantum di dalam Pasal 2, yaitu:
- Penghormatan terhadap martabat;
- otonomi individu;
- tanpa Diskriminasi;
- partisipasi penuh;
- keragaman manusia dan kemanusiaan;
- Kesamaan Kesempatan;
- kesetaraan;
- Aksesibilitas;
- kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak;
- inklusif; dan
- perlakuan khusus dan Pelindungan lebih.
Asas-asas diatas secara sederhana dapat dipahami bahwa paradigma hak asasi manusia terhadap penyandang disabilitas menitikberatkan pada kesetaraan (equality) dan keadilan (equity) yang kemudian terjabarkan ke dalam pelaksanaan pemenuhan hak-hak yang telah diatur secara hierarkis dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu hak penyandang disabilitas yang diatur secara terperinci di dalam peraturan perundang-undangan penyandang disabilitas adalah mengenai hak pendidikan. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU SISDIKNAS) Pasal 1 angka 1 menyatakan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Berdasarkan definisi tersebut satu hal yang penting untuk digaris bawahi adalah bahwa dengan proses pendidikan “peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya”, artinya secara alamiah potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik tidak sama antara satu dengan yang lain. Perbedaan potensi inilah yang mendasari adanya diferensiasi dalam pembelajaran dan inklusifitas dalam berinteraksi. Inklusifitas terhadap penyandang disabilitas dalam pendidikan menjadi salah satu kewajiban bagi pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat untuk memenuhi hak penyandang disabilitas.
Persoalan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran di pendidikan formal dari tingkatan pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi adalah adanya pengabaian terhadap peserta didik yang mengalami disabilitas. Pengabaian yang dimaksud dapat berupa penghambatan secara administratif dalam persyaratan pendaftaran, penolakan peserta didik penyandang disabilitas dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) atau pembiaran terhadap peserta didik penyandang disabilitas ketika telah diterima sebagai peserta didik. Bentuk pembiaran inilah yang justru menjadi kesalahan yang fatal bagi penyelenggara pendidikan karena dengan pembiaran maka tidak terpenuhinya hak-hak peserta didik penyandang disabilitas.
Peserta didik penyandang disabilitas memiliki hambatan yang dialami secara beragam sehingga diperlukan penanganan khusus baik dalam hal pembelajaran maupun dalam hal pelayanan pendidikan. Pemenuhan kebutuhan peserta didik dan pelayanan peserta didik penyandang disabilitas didalam UU PD dapat melakukan penyediaan “akomodasi yang layak (AYL)” dalam bidang pendidikan. Pasal 1 angka 9 mendefinisikan “Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan”.
Rumusan tersebut dapat dipahami bahwa penyediaan akomodasi yang layak didasarkan pada kebutuhan individu penyandang disabilitas sesuai dengan ragam disabilitasnya. Mengenai penyediaan AYL dalam bidang pendidikan, secara khusus diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas (selanjutnya disebut PP AYL pendidikan) yang merumuskan beberapa hal, diantaranya adalah:
- Fasilitasi akomodasi yang layak;
- Penyedia akomodasi yang layak;
- Penerima manfaat akomodasi yang layak;
- Bentuk akomodasi yang layak;
- Mekanisme fasilitasi penyediaan akomodasi yang layak;
- Unit layanan disabilitas.
Penting untuk disoroti dalam PP tersebut adalah fasilitasi tersedianya unit layanan disabilitas sebagai indikator terselenggaranya sistem pendidikan yang inklusif untuk peserta didik penyandang disabilitas. Pasal 1 angka 9 pada PP tersebut mendefinisikan bahwa “Unit Layanan Disabilitas adalah bagian dari satu institusi atau lembaga yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk Penyandang Disabilitas”. Terkait dengan hal tersebut, terdapat kewajiban pemerintah daerah dan pemerintah untuk memfasilitasi pembentukan unit layanan disabilitas sesuai dengan kewenangannya. Tulisan ini menyoroti urgensi unit layanan disabilitas di perguruan tinggi yang didasarkan pada beberapa hal:
Pertama, bahwa akses penyandang disabilitas ke jenjang perguruan tinggi sangat minim, bahkan untuk sampai dengan menyelesaikan pendidikan tinggi hanya 2,87% “lihat https://www.rri.co.id/nasional/521747/penyandang-disabilitas-indonesia-dinilai-minim-akses-pendidikan-formal. Kedua, hambatan terhadap akses fasilitas pembelajaran dan menghadapi stigma serta diskriminasi dalam lingkungan pendidikan tinggi sehingga sulit terpenuhinya hak-hak pendidikan di perguruan tinggi “lihat https://www.un.org/en/academic-impact/disability-and-higher-education-inclusivity-increasingly-technologically-inclined”. Dengan demikian, secara kuantitas akses pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas masih sangat minim sehingga berdampak pada minimnya untuk akses pekerjaan sektor formal. Selain itu, secara kualitas penyandang disabilitas di pendidikan tinggi masih menghadapi dan berjuang untuk melawan stigma dan diskriminasi atas hak-hak sebagai peserta didik.
URGENSI UNIT LAYANAN DISABILITAS DAN PARTISIPASI PENYANDANG DISABILITAS DALAM PEMBENTUKANNYA DI PENDIDIKAN TINGGI
Keberadaan unit layanan disabilitas di perguruan tinggi menjadi indikator terselenggaranya pendidikan tinggi yang inklusif. Menurut Fikri (Fikri, “Partisipasi Politik Masyarakat Difabel Dalam Pembentukan Kebijakan Pendidikan Tinggi Inklusif”, Vol. 1, No. 1, 2014) yang didasarkan pada pengalaman empirisnya mengemukakan bahwa terdapat dua paradigma inklusifitas ditingkat perguruan tinggi, yaitu paradigma inklusif sebagian (partial inclusive paradigm) dan paradigma inklusif menyeluruh (holistic inclusive paradigm).
Partial inclusive paradigm memiliki pengertian bahwa inklusifitas perguruan tinggi hanya dilihat dari sisi ada atau tidaknya unit khusus untuk layanan difabel. Dengan adanya unit layanan difabel tersebut, maka layanan akademik yang dibutuhkan oleh mahasiswa difabel hanya terpusat pada unit tersebut sehingga para pemegang kebijakan baik di tingkat universitas hingga pemegang kebijakan di tingkat jurusan/prodi serta pihak lain dilingkungan perguruan tinggi, merasa tidak berkewajiban untuk menyediakan kebutuhan bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Dengan demikian, secara personal, struktural dan kultural paradigma inklusif belum terintegrasi ke seluruh komponen kampus. Sedangkan holistic inclusive paradigm dapat diartikan bahwa komponen perguruan tinggi baik secara personal maupun struktural telah mampu memahami apa yang dibutuhkan oleh mahasiswa difabel. Dalam paradigma inklusif menyeluruh, hal yang terpenting dipenuhi adalah aksesibilitas perguruan tinggi. Aksesibilitas tersebut terdiri dari aksesibilitas bangunan, aksesibilitas layanan administrasi, dan aksesibilitas akademik (fasilitas akademik maupun kegiatan belajar mengajar di kelas).
Merespon pendapat tersebut, menurut penulis saat ini eksistensi unit layanan disabilitas atau lembaga lain dengan nama yang berbeda dengan fungsi yang sama, menjadi keniscayaan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi inklusif. Hal ini didasarkan pada kerangka yuridis yang telah mengatur secara komprehensif mengenai unit layanan disabilitas yang dapat mewujudkan paradigma inklusif yang holistik. Setidaknya praktik baik di beberapa kampus di Indonesia yang telah membentuk unit tersebut sebelum adanya aturan mengenai pembentukan unit layanan disabilitas melatar belakangi lahirnya peraturan mengenai eksistensi unit layanan disabilitas. Kondisi ini menunjukan adanya urgensi dibentuknya unit tersebut di perguruan tinggi sebagai komitmen dalam mewujudkan pendidikan tinggi yang inklusif.
Secara khusus, pengaturan mengenai akomodasi yang layak dan pembentukan unit layanan disabilitas di perguruan tinggi diatur melalui PP No 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas dan diperkuat secara teknis melalui PERMENDIKBUDRISTEK No 48 Tahun 2023 Tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Satuan Pendidikan Pada Anak Usia Dini Formal, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut PERMENDIKBUDRISTEK AYL Pendidikan) yang mengatur secara terperinci mengenai Unit Layanan Disabilitas dan pelaksanaan akomodasi yang layak dalam pendidikan. PP 13 / 2020 Pasal 26 mengatur kewajiban pembentukan ULD oleh perguruan tinggi. Lebih rinci pasal tersebut menyatakan: “Setiap Lembaga Penyelenggara Pendidikan tinggi wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas.” Rumusan ini mengandung norma wajib untuk memfasilitasi terbentuknya ULD oleh penyelenggara pendidikan tinggi. Konsekuensinya bagi penyelenggara yang tidak melaksanakan pasal tersebut dikenai sanksi administratif. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (2) yang menyatakan: “Lembaga Penyelenggara Pendidikan tinggi yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 26 dikenai sanksi administratif.”
Adapun sanksi administrasi yang dimaksudkan menurut Pasal 30 ayat (3) adalah:
a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan pendidikan;
c. pembekuan izin Penyelenggaraan Pendidikan; dan
d. pencabutan izin Penyelenggaraan Pendidikan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, maka jelas bahwa percepatan untuk pembentukan ULD atau penguatan organisasi yang ada di perguruan tinggi urgen untuk segera dilaksanakan. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi (PERMENDIKBUDRISTEK) pada tahun 2024 membuka program bantuan dana untuk mempercepat terbentuknya ULD atau penguatan organisasi yang ada di perguruan tinggi sebagai pelaksanaan kewajiban Undang-Undang No 8 / 2016 dan serangkaian peraturan turunannya. Melalui surat Pengumuman Penerima Program Bantuan Pembentukan dan Penguatan Unit Layanan Disabilitas Tahun 2024 tertanggal 9 Mei 2024, terdapat 29 perguruan tinggi dalam kategori I (kategori perguruan tinggi yang belum memiliki ULD) dan terdapat 19 perguruan tinggi dalam kategori II (kategori perguuran tinggi yang memiliki ULD atau nama lain) sehingga total berjumlah 48 sebagai penerima dana bantuan. Program tersebut dapat menjadi program akselerasi mewujudkan pendidikan tinggi yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Penulis mengharapkan bahwa program tersebut bukanlah sebagai ajang untuk menggugurkan kewajiban penyelenggara pendidikan tinggi dengan meformalisasikan perguruan tinggi inlusif dengan terbentuknya ULD, melainkan secara substansi memang diperuntukan melaksanakan pemenuhan hak-hak peserta didik penyandang disabilitas dalam mengenyam pendidikan tinggi sesuai dengan keluhuran harkat martabat sebagai manusia. Eksistensi ULD dimaksudkan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan tinggi inklusif sehingga ULD memiliki beberapa tugas danfungsi. Mengacu pada PP 13 / 2020, Pasal 29 dan Pasal 30 telah merumuskan tugas dan fungsi ULD diperguruan tinggi, yaitu:
Pasal 29
Unit Layanan Disabilitas pada Lembaga Penyelenggara Pendidikan tinggi mempunyai tugas:
a. melakukan analisa kebutuhan;
b. memberikan rekomendasi;
c. melaksanakan pelatihan dan bimbingan teknis;
d. melaksanakan pendampingan; dan
e. melaksanakan pengawasan, evaluasi, dan pelaporan.
Pasal 30
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Unit Layanan Disabilitas pada Lembaga Penyelenggara Pendidikan tinggi menyelenggarakan fungsi:
- meningkatkan kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan di pendidikan tinggi dalam menangani Peserta Didik Penyandang Disabilitas;
- mengoordinasikan setiap unit kerja yang ada di perguruan tinggi dalam pemenuhan kebutuhan khusus Peserta Didik Penyandang Disabilitas;
- mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan Akomodasi yang Layak;
- menyediakan layanan konseling kepada Peserta Didik Penyandang Disabilitas;
- melakukan deteksi dini bagi Peserta Didik yang terindikasi disabilitas;
- merujuk Peserta Didik yang terindikasi disabilitas kepada dokter, dokter spesialis, dan/atau psikolog klinis; dan
- memberikan sosialisasi pemahaman disabilitas dan sistem pendidikan inklusif kepada Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Peserta Didik.
Penulis dalam hal ini tertarik untuk menyoroti dua fungsi di dalam Pasal 30 pada huruf a dan huruf g karena beberapa hal, yaitu:
Pertama; bahwa penulis sebagai seorang dosen mengikuti pelatihan Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) sebagai peningkatan kompetensi profesional dosen memiliki catatan terhadap materi pelatihan tersebut. Upaya untuk meningkatkan kompetensi sebagaimana dimaksudkan pada huruf a tersebut, maka salah satu strateginya memasukan materi pengarus-utamaan disabilitas dan pendidikan tinggi inklusif melalui materi PEKERTI. Selama penulis mengikuti proses pelatihan PEKERTI maupun AA sebagai bentuk peningkatan kompetensi profesional dosen tidak mendapatkan pengarus-utamaan isu tersebut. Hal ini patut dipertanyakan, bagaimana logikanya satu sisi dosen dituntut untuk dapat menangani mahasiswa disabilitas sementara dalam proses pelatihan PEKERTI maupun AA atau pelatihan kompetensi profesional lainnya tidak diberikan pemahaman dasar tentang pendidikan inklusif dan isu disabilitas?. Penulis mengusulkan bahwa didalam kurikulum pelatihan-pelatihan kompetensi profesional bagi dosen yang diselenggarakan oleh instansi yang mendapatkan izin sebagai penyelenggara, kementerian yang berwenang hendaknya memberikan persyaratan untuk memasukan isu disabilitas dan pendidikan inklusif didalam kurikulum pelatihan tersebut. Dengan demikian, peningkatan kompetensi dosen untuk menangani mahasiswa disabilitas lebih terstruktur, sistematis dan komprehensif.
Kedua; bahwa penulis juga sebagai penyandang disabilitas yang memiliki pengalaman dalam turut serta mengelola lembaga layanan disabilitas di perguruan tinggi (sebelum sebagai dosen di UPN “Veteran” Jawa Timur” sehingga dalam pengelolaan tersebut partisipasi penuh dan bermakna dari penyandang disabilitas sangat dihargai dan bahkan menjadi penentu dalam pengambilan kebijakan. Salah satu pengarus-utamaan mengenai pendidikan inklusi dan isu disabilitas, keterlibatan penyandang disabilitas menjadi kunci dalam transformasi paradigma inklusifisme. Bahkan dalam gerakan disabilitas dikenal dengan selogan “nothing about us without us” yang memiliki makna bahwa tanpa keterlibatan penyandang disabilitas maka hanya sebatas pada formalistik belaka. Untuk itu, pelibatan penyandang disabilitas dalam melaksanakan fungsi ULD pada huruf g “memberikan sosialisasi pemahaman disabilitas dan sistem pendidikan inklusif kepada Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Peserta Didik” sangat penting melibatkan penyandang disabilitas yang telah memiliki pengalaman praktis dan sebagai bentuk partisipasi penuh dan bermakna.
CATATAN KRITIS
Diakhir tulisan ini, penulis berpikir penting untuk memberikan catatan kritis terhadap percepatan pembentukan atau penguatan ULD di pendidikan tinggi. Catatan kritis ini dimaksudkan untuk menjadikan refleksi bagi pemangku kepentingan, baik pimpinan perguruan tinggi maupun pihak-pihak yang ingin melakukan pengarus-utamaan isu inklusi di pendidikan tinggi agar senantiasa memegang salah satu asas yang tercantum di dalam UU No 8 / 2016, yaitu asas “partisipasi penuh”. Asas ini hendaknya diejawantahkan kedalam tindakan-tindakan nyata, bukan hanya dijadikan sebagai gincu bibir saja.
Ada dua hal pokok yang menjadi catatan kritis penulis, yaitu:
Pertama, beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah mengakomodasi penyandang disabilitas sebagai dosen dengan berbagai latar belakang keilmuan sehingga perguruan tinggi tersebut telah memiliki satu diantara sekian banyak kriteria inklusifitas perguruan tinggi. Oleh karena itu, keberadaan dosen penyandang disabilitas hendaknya tidak hanya dijadikan sebagai labeling bahwa perguruan tinggi tersebut telah inklusif, akan tetapi pelibatan dosen penyandang disabilitas dalam pengembangan perguruan tinggi juga menjadi suatu hal yang penting untuk dilaksanakan. Perguruan tinggi inklusif tidak cukup hanya telah “menerima” dosen penyandang disabilitas saja, namun juga penting untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif di perguruan tinggi dengan pelibatan yang optimal dalam kerja-kerja strategis sehingga dapat lebih inklusif, baik dalam hal kebijakan, pembelajaran, maupun pelaksanan tridarma perguruan tinggi, termasuk penerapan universal design dalam teknologi digital sehingga dapat diakses oleh dosen penyandang disabilitas sesuai dengan kategori disabilitasnya.
Kedua, bahwa dengan adanya dosen penyandang disabilitas di suatu perguruan tinggi, setidaknya dapat memenuhi aturan PERMENDIKBUDRISTEK No 48 / 2023 Pasal 17 ayat (5) yang berkaitan dengan pelibatan organisasi penyandang disabilitas dalam menetapkan kebijakan perguruan tinggi berkaitan dengan pembentukan ULD. Secara tekstual dirumuskan: “Dalam penyusunan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perguruan Tinggi dapat mengikutsertakan organisasi Penyandang Disabilitas”. Pertanyaan mendasarnya apakah perguruan tinggi akan melibatkan organisasi penyandang disabilitas? di saat ada dosen penyandang disabilitas yang secara interaksi jauh lebih dapat dijangkau oleh pimpinan perguruan tinggi. Persoalan lainnya adalah belum tentu juga pimpinan perguruan tinggi mengenal bahkan memahami eksistensi organisasi penyandang disabilitas. Hal ini pun menjadi auto-kritik bagi perguruan-perguruan tinggi yang telah memiliki dosen penyandang disabilitas, seberapa tinggi intensitas pimpinan perguruan tinggi dalam melibatkan dosen tersebut berkaitan dengan wacana pembentukan ULD?.
“NOTHING ABOUT US WITHOUT US” SALAM INKLUSI